Wakil Presiden Maruf Amin tidak terima beras Indonesia disebut termahal dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. Hal tersebut disampaikan Maruf menyikapi laporan Indonesia Economic Prospect (IEP) edisi Desember 2022 Bank Dunia. Laporan itu menyebutkan bahwa harga beras di Indonesia dalam satu dekade terakhir menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Menurut lembaga keuangan internasional ini, harga beras di Indonesia lebih mahal dibandingkan Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Maruf menyebut harga beras di tanah air memang fluktuatif tetapi dalam batas wajar, karena salah satunya dipengaruhi masa panen. “Harga beras kalau dilihat sekarang ini memang agak naik ya. Tapi nanti saat panen itu turun, jadi ada masa turun ada masa naik, tapi dalam batas batas yang wajar,” ungkap Ma'ruf melalui keterangan tertulis, Jumat (23/12/2022).
Dalam menilai harga beras, menurut Ma'ruf, semestinya dilihat secara rata rata. Menurut Ma'ruf, penilaian tidak boleh hanya ketika harga beras tinggi atau rendah saja. “Jadi kalau mau menilai harga beras itu harus dirata rata, jadi ketika murah, ketika naik itu dirata rata menjadi berapa,” kata Ma'ruf.
Sebab selain dipengaruhi waktu panen, Ma'ruf mengungkapkan harga beras di Indonesia juga cenderung naik pada situasi tertentu, seperti menjelang lebaran dan tahun baru. “Memang di Indonesia begitu, kalau mau tahun baru naik, mau lebaran naik, dan kebetulan paceklik kan? Nanti kalau sudah itu turun lagi,” jelas Ma'ruf. Dirinya menilai bahwa sebenarnya harga beras Indonesia bukan yang termahal atau pun yang termurah di kawasan ASEAN.
“Kalau dilihat indikasi secara keseluruhan tidak yang termahal, mungkin juga bukan yang termurah. Tapi agak murahlah, di atas yang termurah mungkin, antara itu, tapi bukan yang termahal,” ujarnya. Lebih jauh, dirinya menuturkan bahwa kebijakan manajemen perberasan di tanah air saat ini sudah sangat baik, mulai dari peningkatan kualitas, pengadaan, hingga distribusi kepada masyarakat. “Kemudian ya tentu harga beras. Ini semuanya sudah sangat baik sekali. Semua sudah berjalan, pengadaan, semua,” tutur Ma'ruf.
Dalam beberapa tahun terakhir, Ma'ruf mengatakan Indonesia tidak impor beras karena kebutuhan maupun cadangan beras dalam negeri telah tercukupi. Ma'ruf mengatakan Pemerintah saat ini melakukan impor beras untuk cadangan. “Sudah (tiga) tahun kita tidak impor kan? Ya, sekarang pun sebenarnya cukup, cuma [kalau akan impor] untuk cadangan, jadi [misalnya] ada impor itu untuk cadangan,” pungkas Ma'ruf.
Berdasarkan laporan Bank Dunia Indonesia Econic Prospect (IEP) edisi Desember 2022, harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dari harga di Filipina. Bank Dunia melaporkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara negara ASEAN lain selama satu dekade terakhir. Bahkan, harga beras Indonesia dua kali lipat harga beras di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand.
"Konsumen Indonesia membayar harga beras dan makanan pokok lainnya lebih tinggi daripada negara tetangga," tulis Bank Dunia dalam laporannya, seperti dikutip Selasa (20/12/2022). Mahalnya harga beras di Indonesia, tulis Bank Dunia, disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung harga pasar bagi produsen di sektor pertanian. Kebijakan yang dimaksud meliputi kebijakan pembatasan perdagangan seperti tarif impor, monopoli impor BUMN untuk komoditas utama serta kebijakan harga pembelian minimum di tingkat petani.
Selain itu, kurangnya investasi jangka panjang dalam riset dan pengembangan pertanian, layanan penyuluhan, dan pengembangan sumber daya manusia pertanian telah menghambat peningkatan produktivitas yang dapat menurunkan harga pangan dalam jangka panjang. "Rantai pasokan yang panjang dan biaya distribusi yang tinggi, sebagian karena geografi negara yang kompleks, juga menaikkan harga pangan bagi konsumen di negara tersebut," jelas Bank Dunia. Harga beras yang tinggi ini tentu akan berkontribusi pada tingkat inflasi, ditambah dengan adanya ketidakpastian global beberapa waktu ini.
Data Bank Dunia mencatat, inflasi pangan di Indonesia secara tahunan mencapai level tertinggi dalam 8 tahun pada Juli 2022 sebesar 10,3 persen, lalu turun menjadi 6,9 persen di Oktober 2022. Terlebih di Indonesia, komoditas pangan yang menjadi penyebab inflasi tidak hanya beras saja, melainkan juga cabai, bawang merah, daging, telur, kedelai, gandum, hingga minyak goreng. Di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi tantangan terkait keterjangkauan pangan dan kecukupan gizi.
Menurut Bank Dunia, hal ini dapat disiasati dengan melakukan langkah kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi hambatan impor pertanian dan pangan. "Kebijakan untuk mendorong diversifikasi ke pangan yang lebih bergizi (ternak, buah dan sayuran) dan mengurangi distorsi kebijakan yang saat ini berpihak pada produksi beras dapat meningkatkan kecukupan gizi," tulis Bank Dunia.